Apai Janggut, Sang Pahlawan Lingkungan Penerima Equator Prize

23 Juli 2022 15:15

GenPI.co Kalbar - Apai Janggut (Pak Janggut) adalah seorang pegiat lingkungan asal subsuku Dayak Iban Sungai Utik, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalbar.

Pria kelahiran 1934 itu dikenal setelah komunitas adat Dayak Iban Sungai Utik yang diwakilinya menerima penghargaan Equator Prize dari Program Pembangunan PBB.

Bersama 22 komunitas lokal dan adat lainnya dari seluruh dunia, penghargaan diterima oleh Apai Janggut pada 24 September 2019 di Midtown Manhattan, Amerika Serikat.

BACA JUGA:  Florensius Ronny, Pimpin DPRD Sintang di Usia 30 Tahun

Diketahui, Apai Janggut bersama komunitasnya setia menjaga kawasan hutan perawan seluas 9.453,5 hektare dari ancaman korporasi.

Sebelumnya, komunitas adat Dayak Iban Sungai Utik juga memperoleh penghargaan Kalpataru kategori Penyelamat Lingkungan.

BACA JUGA:  Satono, dari PNS Menjadi Bupati Mualaf Keturunan Tionghoa

Penghargaan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI itu diserahkan oleh Wakil Presiden RI pada 11 Juli 2019 di Jakarta.

Selain sebagai pegiat lingkungan, pria bernama lengkap Bandi Anak Ragai itu juga dikenal sebagai tuai rumah atau orang yang dituakan.

BACA JUGA:  Lasarus, Putra Bumi Senentang yang Jabat Ketua Komisi V DPR RI

Apai Janggut menjadi pemimpin seluruh kepala keluarga yang menghuni Rumah Panjang Sungai Utik, sebuah bangunan tradisional Dayak Iban yang juga diisi beberapa keluarga.

Dia menjadi pemimpin rumah panjang menggantikan ayahnya yang wafat pada 1982.

Nama Apai Janggut disematkan karena ciri khas penampilannya yang selalu memelihara janggut hingga mencapai dada.
Apai Janggut adalah generasi kedelapan dari Keling Kumang, pemimpin Kerajaan Buah Main.

Buah Main merupakan sebuah kerajaan di pedalaman Kalbar yang terbentang dari Sekadau, Ketungau, Mungguk Bejuah, Hutan Berangan Semitau Tua, hingga ke Batang Lupar, kemudian Sri Aman, Malaysia.

Kini, di usianya yang sudah 88 tahun, Apai Janggut masih sering didatangi oleh berbagai lapisan masyarakat untuk dibuatkan tato bunga terong.

Tato bagi orang Dayak, terutama Iban, bukanlah sembarang guratan gambar pada kulit atau bagian tubuh tertentu.

Tato dan gambarnya menunjukkan siapa di balik simbol itu, juga menunjukkan kelas atau kastanya.

Namun, tato bunga terong akhirnya menjadi populer dan tidak hanya dipakai oleh orang Dayak.

Orang-orang yang mendatangi Apai Janggut untuk dibuatkan tato dengan cara tradisional itu, berasal dari banyak daerah dan negara, termasuk para artis lokal. (*)

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

Redaktur: Shella Angellia Rimang

BERITA TERKAIT

Copyright © 2024 by GenPI.co KALBAR